Undang-Undang Cipta Kerja
kembali menjadi permasalahan di Indonesia yang telah menimbulkan permasalahan
dari awal perumusan UU ini di buat. Masyarakat menolak UU Cipta Kerja ini
dengan beberapa alasan yang menurut mereka dapat merugikan masyarakat, beberapa
diantaranya adalah mengenai tidak diberikannya cuti kepada wanita yang
melahirkan dan bahkan tidak adanya uang tunjangan untuk karyawan kontrak.
Kebijakan ini tentu membuat pertanyaan bagi masyarakat apalagi pengesahan UU
Cipta Kerja yang terkesan tergesa-gesa di masa pandemi Covid-19 pada saat ini.
Belum usai kerusuhan akibat Rancangan UU Omnibus Law Cipta
Kerja, DPR bersama pemerintah sepakat untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang
menjadi Undang-Undang terhitung semenjak tanggal 5 oktober 2020 pada saat rapat
paripurna. RUU Cipta Kerja juga dapat mengubah ketentuan cuti khusus atau izin
yang tercantum dalam UU Nomor 13 tahun 2003 yang mengatur tentang
ketenagakerjaan yang menghapus cuti atau tidak masuk saat haid hari
pertama, keperluan menikah, menikahkan, mengkhitankan, pembaptisan anak, istri
melahirkan/keguguran dalam kandungan hingga adanya anggota keluarga dalam satu
rumah yang meninggal dunia.
Selain itu, Ombnibus Law Cipta Kerja juga akan memberikan
ruang bagi penguasaha yang mengontrak buruh tanpa batasan waktu, tidak membela
hak buruh seperti pesangon, dan penetapan upah minimum menjadi standar provinsi
serta para pekerja outsourcing semakin tidak jelas keberadaannya.
Sidang Paripurna tersebut berjalan dengan dramatis seperti
adanya Mikrofon yang di indikasikan sengaja dimatikan oleh Ketua DPR RI yaitu
Ibu Puan Maharani hingga walk out nya
2 partai besar di Indonesia yakni Partai Demokrat dan Partai PKS. Sebelum
terjadinya walk out tersebut Benny K Harman sempat mengatakan
bahwa “Kami Fraksi Partai Demokrat menyatakan
walk out dan tidak bertanggung jawab”, Senin (5/10)
Mengenai di matikannya mickrofon pada saat anggota DPR
sedang menyampaikan pendapatnya Sekretaris Jendral DPR, Indra Iskandar
mengklarifikasi hal tersebut “Semua diberikan waktu untuk berbicara,
bergantian. Jika sampai dimatikan mikrofonnya, itu hanya untuk menertibkan lalu
lintas interupsi. Pimpinan punya hak mengatur jalannya rapat”. Selasa (6/10).
Sidang Paripurna UU Omnibus Law Cipta Kerja memang berjalan
dengan panas, seperti ada tekanan dari pihak luar dan terkesan tidak berimbang,
adanya pihak yang diuntungkan dan pihak yang justru merasa sangat dirugikan
karena ini. Akibat dari pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja yang tergesa gesa
ini menyebabkan gesekan dari berbagai lapisan masyarakat baik itu dikalangan
mahasiswa maupun masyarakat pada umumnya. Semenjak tanggal 6 Oktober 2020 gelombang aksi demo penolakan
UU Omnibus Law Cipta Kerja di suarakan oleh Rakyat Indonesia. Aksi ini akan
terus berlangsung sampai adanya pencabutan UU Omnibus Law Cipta Kerja
dilakukan. (Isra)
Sumber :
Reporter : Isnaini Rahmi